Saturday, June 26, 2004

"Terimakasih."
Lagi dengan jenaka nelayan itu berseloroh, "Sudahlah. Kalau terus-terusan bilang terimakasih lama-lama terimakasih akan kehilangan kesaktiannya."
"Apa?"
"Ya. Tidak bagus terlalu banyak bilang terimakasih. Nanti, kalau terlalu banyak menerima kasih, bisa-bisa yang memberikan kasih akan keahbisan kasih. Orang yang kehabisan kasih akan terpaksa hanya bisa aksi bengong. Aksi bengong itu sudah terlalu sering terjadi. Tiga setengah abad dijajah Belanda, kita aksi bengong. Tiga setengah tahun dijajah Jepang, kita aksi bengong. Tiga setengah dasawarsa dijajah Orde Baru, kita aksi bengong."


. . .

"Jangan bilang kamu terpaksa. Itu akan menyiksa pikiranmu sendiri. Cinta itu tidak boleh dipaksa. Cinta itu suatu kemauan merdeka untuk menyerahkan diri dalam keriangan dan kesengsaraan. Dalam senang tidak sepi noktah-noktah kemeranaan mengintip jalannya takdir; dalam merana kita diingatkan untuk memelihara cinta sebagai karunia, sebagai bagian tanggungjawab insani kita pada ilahi yang jadi sumber kasihsayang."

. . .

"Dalam cinta tidak ada hitung-hitungan untung-rugi. Tapi kalau kamu ingin bertanya tentang berapa harga cinta yang sesungguhnya, maka satu-satunya jawaban yang mesti kamu pelihara adalah cinta itu tidak berkesudahan. Kamu mengenal dirimu - dalam cinta - melalui kelebihan dan kekurangan orang lain. Kamu tahu kirmizi itu adalah merah kotor, tapi kamu dapat menyaksikan mukjizat melalui orang lain yang memberimu cinta, yang mengingatkan kamu betapa besar cinta itu dapat mengubahnya manjadi bersih seputih salju."

Kerudung Merah Kirmizi - Remy Sylado

No comments: